25 Contoh Cerpen Singkat Seru dan Cocok untuk Tugas Sekolah

 contoh-cerpen-berdasarkan-jenisnya

Cerpen merupakan prosa pendek yang terdiri tidak lebih dari 10.000 kata, dan hanya memiliki konflik tunggal. Ada beberapa contoh cerpen yang bisa kamu jadikan bahan belajar. Yuk simak!

Waktu sekolah dulu, jujur aja aku suka banget sama pelajaran Bahasa Indonesia. Apalagi kalau udah disuruh menulis dan membaca cerpen. Ibaratnya, mengarang cerpen itu sama saja dengan menerapkan seluruh ilmu yang kamu pelajari di pelajaran Bahasa Indonesia. Seperti contohnya, tanda baca, berbagai imbuhan, ataupun penerapan jenis-jenis teks.

Nah, bagi kamu yang juga suka membaca cerpen, yuk lihat beberapa contoh cerpen singkat dari berbagai macam tema yang seru dan menarik berikut ini.

 

Pengertian Cerpen

Jadi … cerpen itu apa, sih? Cerpen itu singkatan dari “cerita pendek”. Seperti namanya, cerpen adalah bentuk prosa fiksi singkat yang memiliki konflik tunggal. Kalau mau gampangnya, sih, cerpen itu cerita fiksi yang sekali habis, mulai dari pengenalan tokoh, konflik, sampai penyelesaian. Panjang cerpen juga nggak boleh lebih dari 10.000 kata, loh.

 

Jenis-Jenis Cerpen

Cerpen sendiri memiliki tiga jenis, yaitu:

1. Cerpen Pendek

Loh, kan cerpen itu udah “pendek”, apa ada yang lebih pendek? Hehe, seperti namanya, cerpen pendek hanya terdiri dari 500 – 700 kata. Bahkan, terkadang ada juga yang menyebutnya dengan ficlet.

2. Cerpen Sedang

Cerpen sedang adalah cerita yang memiliki panjang 700 – 1000 kata.

3. Cerpen Panjang

Cerpen ini tersusun lebih dari 1000 kata. Bahkan ada yang sampai mencapai 5000 – 10.000 kata.

Baca juga: Memahami Ciri-ciri, Struktur, dan Contoh Cerita Pendek

 

Psst, udah tau belum kalau di Aplikasi belajar Ruangguru, ada fitur Drill Soal? Aplikasi ini berisi kumpulan contoh soal latihan beserta pembahasannya, loh. Pas banget buat kamu mempersiapkan ujian. Langsung aja cobain dengan klik banner di bawah ini!

"Drill

 

Contoh Cerpen

Supaya lebih paham, ada beberapa contoh cerita pendek yang bisa kamu jadikan acuan dalam belajar. Yuk, disimak!

1. Contoh Cerpen berjudul Ujian Terakhir dan Secarik Kertas

Raka, siswa paling cerdas di SMA Bintang, selalu menduduki peringkat pertama. Namun, ia tidak pernah benar-benar merasa puas; tekanan untuk selalu sempurna membuatnya gelisah. Ujian Akhir Semester (UAS) kali ini adalah penentu apakah ia bisa mendapatkan beasiswa impiannya. Aula ujian terasa dingin, hening, hanya ada suara gesekan pensil.

Soal matematika kali ini sangat sulit, bahkan untuk Raka. Dua soal terakhir membuatnya buntu. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Saat ia menghela napas, matanya tak sengaja menangkap gerakan dari bangku depan. Dinda, teman sebangkunya yang dikenal sering mendapat nilai pas-pasan, dengan cepat menyembunyikan secarik kertas kecil di bawah lengannya. Raka tahu itu adalah contekan.

Saat pengawas ujian, Bu Ratna, berbalik ke papan tulis, Dinda secara tak seng sengaja menjatuhkan kertas itu ke lantai. Kertas itu meluncur, tepat berhenti di bawah sepatu Raka. Ini adalah kesempatan emas. Dalam kertas itu mungkin ada jawaban untuk dua soal yang memusingkannya. Jantung Raka berdetak kencang. Jika ia menggunakan ini, ia pasti mendapat nilai sempurna dan beasiswa aman. Namun, ia akan mengkhianati prinsip kejujuran yang selalu ia junjung.

Raka menunduk, tangannya menyentuh kertas itu. Tepat saat jari-jarinya akan meraih, ia teringat kata-kata ayahnya: “Nilai sempurna yang didapat dengan kecurangan tidak akan pernah memberimu kedamaian sejati, Nak.” Raka menarik tangannya. Ia melihat Dinda melirik cemas ke arahnya. Alih-alih mengambilnya, Raka dengan gerakan cepat menendang pelan kertas itu hingga terdorong jauh ke bawah meja pengawas.

Dinda terkejut dan sedikit pucat, tapi ia mengerti. Raka kembali ke soalnya, memutuskan untuk menyerahkan lembar jawabannya apa adanya. Ia meninggalkan dua soal itu kosong, menerima kenyataan bahwa nilainya mungkin tidak sempurna.

Dua minggu kemudian, hasil UAS diumumkan. Raka mendapat nilai 95, ia kehilangan 5 poin dari dua soal yang kosong. Ia masih menduduki peringkat pertama, tetapi selisihnya sangat tipis. Bu Ratna memanggilnya ke depan.

“Raka, kamu tahu kamu bisa menjawab dua soal itu, bukan?” tanya Bu Ratna lembut. Raka mengangguk. Bu Ratna lalu tersenyum. “Saat ujian, saya melihat ada kertas jatuh. Saya perhatikan kamu tidak mengambilnya, melainkan mendorongnya jauh dari jangkauanmu. Kejujuranmu, Nak, jauh lebih berharga daripada nilai 100.”

Raka akhirnya mendapatkan beasiswa itu. Bukan karena nilainya yang nyaris sempurna, tetapi karena rekomendasi khusus dari Bu Ratna yang menyoroti integritas dan kejujurannya yang teguh. Raka belajar, bahwa nilai sejati dari pendidikan adalah karakter, bukan sekadar angka.

 

2. Contoh Cerpen berjudul Sungai yang Kembali Bersuara

Desa Kedungombo adalah desa yang hidup dari sungai. Dahulu, Sungai Brantas mengalir jernih, membawa rezeki ikan melimpah, dan suara riaknya adalah musik pengantar tidur. Namun, dalam lima tahun terakhir, perusahaan tekstil di hulu mulai membuang limbah. Sungai Brantas berubah menjadi keruh, berbau, dan sunyi.

Pak Tani (60 tahun), seorang nelayan yang kini beralih menjadi buruh serabutan, merasa kehilangan separuh jiwanya. Anak-anak di desa sering sakit kulit. Ikan-ikan mati mengambang. Warga sudah mencoba berdemonstrasi, namun perusahaan itu terlalu kuat. “Tidak ada lagi harapan,” kata sebagian warga.

Lia (15 tahun), cucu Pak Tani, adalah satu-satunya yang masih memiliki semangat. Ia membuat jurnal dan mendokumentasikan setiap perubahan warna air, setiap ikan yang mati, dan setiap penyakit yang diderita tetangganya. Ia sadar, data adalah senjata. Ia mengirim laporannya ke berbagai lembaga lingkungan, namun tak ada respons signifikan.

Suatu malam, Lia nekat menyusuri sungai ke hulu. Ia menemukan pipa besar yang memuntahkan cairan ungu pekat ke sungai. Ia segera memotretnya. Namun, saat ia berbalik, dua penjaga pabrik menangkapnya.

“Mau apa kamu di sini?!” hardik salah satu penjaga. Lia gemetar, tapi ia teringat suara riak sungai yang hilang. Ia memberanikan diri. “Saya hanya ingin sungai kami kembali jernih! Kalian merusak rumah kami!”

Penjaga itu merampas ponsel Lia, menghapus semua bukti foto. Namun, sebelum mereka menyita ponselnya, Lia telah berhasil mengirimkan satu video ke grup chat warga. Saat Lia dibawa kembali ke desa, ia melihat pemandangan tak terduga.

Seluruh warga desa, dipimpin oleh Pak Tani, sudah berkumpul di tepi sungai. Mereka tidak membawa pentungan atau spanduk; mereka membawa tanaman air dan karung berisi arang aktif. Mereka mulai menanam di sepanjang tepian sungai, memasang filter air sederhana di sekitar pipa pembuangan. Mereka melakukan aksi damai pemulihan lingkungan yang mustahil diabaikan.

Berita tentang aksi damai warga Kedungombo, yang didukung video Lia, viral di media sosial. LSM lingkungan akhirnya turun tangan. Perusahaan tekstil itu mendapat sanksi berat dan diwajibkan membangun instalasi pengolahan limbah yang layak.

Setelah beberapa bulan, dengan upaya warga yang tak kenal lelah, air Sungai Brantas perlahan berubah. Warna ungu hilang, digantikan oleh warna cokelat muda. Ikan-ikan kecil mulai muncul. Suatu sore, Pak Tani memancing lagi. Ia tidak mendapatkan ikan, tetapi ia mendengar sesuatu yang sangat dirindukannya: suara riak air sungai yang kembali bersuara. Ia tahu, alam dan manusia harus hidup berdampingan, karena kerusakan pada satu akan selalu melukai yang lain.

 

3. Contoh Cerpen berjudul Patung Lilin Sang Pembuat Roti

Yoga adalah mahasiswa seni rupa yang selalu mencari sensasi. Karyanya harus bombastis, unik, dan langsung viral. Di mata Yoga, seni adalah tentang hasil yang mencengangkan. Sebaliknya, Kakeknya, Pak Seno, hanya seorang pembuat roti tradisional di pasar kecil, yang setiap pagi membuat adonan dengan tangan.

Tugas akhir kuliah Yoga adalah membuat patung yang mencerminkan “Kehidupan Sejati”. Yoga membuat patung fiberglass raksasa berbentuk dewa-dewa modern dengan lampu LED, berharap mendapatkan pujian instan. Ia menghabiskan banyak uang dan waktu, tapi hasilnya terasa hampa.

Suatu sore, ia melihat Kakeknya membuat adonan. Kakek Seno bekerja sangat lambat. Ia menekan, memutar, dan memijat adonan itu dengan penuh kesabaran. “Kenapa tidak pakai mesin saja, Kek? Lebih cepat dan efisien,” tanya Yoga sinis.

Kakek Seno tersenyum. “Roti yang enak butuh sentuhan. Rasa yang enak itu lahir dari proses, bukan dari kecepatan. Setiap tekanan, setiap pijatan, adalah doa agar rotinya membawa kehangatan.”

Yoga pergi dengan jengkel. Ia tetap merasa proses kakeknya kuno. Tapi saat ia mencoba menyentuh patung fiberglass buatannya, ia merasakan dingin dan kekosongan.

Hanya seminggu sebelum batas akhir tugas, Yoga panik. Patungnya tidak berhasil membuatnya terhubung dengan tema “Kehidupan Sejati”. Ia kembali ke Kakeknya. Kali ini, ia tidak bertanya, ia hanya mengamati.

Ia melihat tekstur adonan yang lembut, bagaimana tangan Kakeknya yang keriput itu bergerak dengan ritme yang teratur, dan bagaimana Kakek Seno tersenyum saat mencium aroma ragi yang mulai bekerja. Dalam pengamatannya, Yoga mendapat pencerahan: Kehidupan Sejati adalah proses yang lambat, penuh sentuhan, dan didoakan.

Yoga membatalkan patung fiberglass-nya. Ia mengambil tanah liat sisa yang ia miliki dan mulai memahat. Ia tidak memahat dewa atau monster, ia memahat tangan Kakeknya yang sedang mengaduk adonan. Ia membuat setiap kerutan, setiap urat, setiap tekstur tepung yang menempel di kuku. Ia bekerja selama tiga hari, mengikuti proses lambat yang diajarkan Kakeknya.

Saat pameran, Patung “Tangan Sang Pembuat Roti” milik Yoga menarik perhatian. Patung itu tidak besar, tidak menyala, dan tidak mencolok. Tapi patung itu berbicara. Salah satu juri berkata, “Patung ini memiliki roh. Kami bisa merasakan kehangatan dan kesabaran di dalamnya.”

Yoga meraih nilai tertinggi. Ia berlari ke pasar, memeluk Kakeknya. “Terima kasih, Kek. Aku belajar, bahwa seni bukan hanya hasil yang harus viral, tapi ketulusan proses yang bisa menyentuh hati. Kakek adalah seniman sejati.” Kakek Seno hanya memberinya sepotong roti hangat, yang terasa lebih manis dari kemenangan apa pun.

 

4. Contoh Cerpen berjudul Kode Sumber Mimpi

Di masa depan, tidur adalah kemewahan. Mayoritas orang menggunakan SimulDream, sebuah perangkat VR yang memproyeksikan mimpi yang disempurnakan. Tujuannya: mengoptimalkan istirahat dan inspirasi. Rio (16 tahun) adalah programmer jenius, namun ia selalu merasa mimpi buatannya, meskipun sempurna secara teknis, terasa palsu.

Rio memiliki ambisi gila: menciptakan RealDream, mimpi yang sangat nyata hingga tidak bisa dibedakan dari kenyataan. Ia bekerja di laboratorium bawah tanah, mencoba memecahkan “Kode Sumber Mimpi”—kode rahasia yang mengatur emosi manusia saat tidur. Teman-temannya menertawakannya, “Mimpi harusnya pelarian, Rio, bukan kenyataan lain!”

Suatu malam, Rio tertidur kelelahan. Ia tidak menggunakan SimulDream. Ia mendapat mimpi alaminya sendiri. Dalam mimpi itu, ia adalah seorang astronot yang tersesat di luar angkasa. Ia merasakan ketakutan yang mencekam, namun juga keindahan melihat bintang yang sesungguhnya. Itu adalah mimpi yang tidak sempurna, namun sangat hidup.

Ia terbangun dengan ide gila: mimpi alaminya adalah bug yang harus ia selidiki. Ia mulai memprogram dirinya sendiri untuk mengalami RealDream dengan cara memanipulasi emosi alaminya.

Rio berhasil masuk ke dalam RealDream pertamanya. Ia berada di sebuah taman yang sangat indah, sempurna, tanpa cacat. Namun, di tengah kesempurnaan itu, ia mulai merasa bosan. Ia mencari celah, mencoba melarikan diri dari skenario yang telah ia program sendiri.

Tiba-tiba, ia melihat sebuah pohon apel yang bengkok. Pohon itu tidak ada dalam kode programnya. Di bawah pohon itu, duduklah seorang gadis kecil yang menangis. “Kenapa kamu menangis?” tanya Rio. Gadis itu menjawab, “Mimpiku terlalu sempurna, aku tidak punya alasan untuk berharap.”

Rio tersadar. Kenyataan hidup itu penuh cacat, penuh tantangan, dan itulah yang menciptakan harapan dan mimpi sejati. Ia kembali ke interface programnya dan menghapus semua kode kesempurnaan. Ia menyadari bahwa RealDream bukanlah tentang menciptakan kesempurnaan, tetapi tentang meniru ketidaksempurnaan, meniru risiko dan rasa sakit yang membuat manusia terus berjuang dan bermimpi.

Rio mempresentasikan penemuannya, RealDream V.2. Ini bukanlah mimpi yang sempurna, melainkan simulasi yang mengajarkan pengguna tentang kegagalan, perjuangan, dan keindahan yang muncul dari ketidakpastian. Perangkatnya meledak di pasaran. Rio menjadi ilmuwan sukses, namun ia berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menyisakan waktu untuk tidur alami, karena ia tahu, kode sumber mimpi sejati berada di dalam hati yang berani menghadapi ketidakpastian.

 

5. Contoh Cerpen berjudul Gosip di Ruang Ganti

Tim voli SMA Kartika sedang berada di puncak popularitas. Bintang mereka adalah Tania, setter handal yang pendiam. Di ruang ganti, menjelang pertandingan final, Desi, kapten tim yang ambisius, mendengar bisikan dari dua anggota tim cadangan.

“Katanya Tania sering bolos latihan malam karena dia kerja sambilan di tempat yang aneh-aneh,” bisik salah satunya.

Desi, tanpa konfirmasi, langsung terhasut. Ia merasa reputasi timnya terancam. “Tania mengkhianati kita! Dia tidak fokus!” pikir Desi.

Desi, dengan wajah dingin, memanggil Tania. “Tania, kudengar kamu punya masalah dengan prioritas. Kami semua di sini berjuang keras, tapi kamu sibuk dengan urusanmu sendiri. Jika kamu tidak fokus di final, aku akan mencadangkanmu.”

Tania hanya menunduk, matanya berkaca-kaca, tanpa membantah. Tindakan Desi yang didasari gosip dan asumsi itu membuat suasana tim tegang.

Saat pemanasan, Tania bermain buruk. Pikirannya terganggu oleh tuduhan Desi. Tim lawan melihat keretakan itu dan memanfaatkannya. Di set pertama, SMA Kartika kalah telak.

Saat jeda, Desi melihat Tania duduk sendirian, menangis tanpa suara. Desi akhirnya merasa bersalah. Ia mendekat. “Tania, aku minta maaf. Apa yang sebenarnya terjadi dengan latihan malammu?”

Tania menyeka air mata. “Aku tidak kerja di tempat aneh, Des. Aku kerja paruh waktu di panti jompo. Aku mengajar baca tulis untuk para lansia. Uangnya kukumpulkan untuk operasi mata Nenekku. Aku tidak bolos, Des. Aku hanya tidak ingin merepotkan kalian dengan masalahku.”

Desi merasa seperti dihantam batu. Ia telah menghancurkan semangat setter terbaiknya hanya berdasarkan bisikan tak berdasar. Ia tidak hanya merusak reputasi Tania, tapi juga merusak mental timnya sendiri. Desi berdiri di depan tim, menundukkan kepala. “Teman-teman, aku minta maaf. Aku menyebarkan gosip dan menghakimi Tania tanpa bertanya. Kita harus ingat, reputasi seseorang itu seperti porselen, sekali pecah sulit diperbaiki.”

Desi menoleh pada Tania. “Tania, sekarang kamu yang memimpin. Abaikan kata-kataku. Kamu adalah hati dari tim ini.”

Di set kedua, Tania bermain luar biasa. Ia mengumpan bola dengan presisi, didukung oleh Desi yang bermain sebagai spiker dengan semangat penebusan. Mereka bermain dengan hati, bukan karena ambisi, melainkan karena rasa hormat yang baru ditemukan. Mereka membalikkan keadaan dan memenangkan pertandingan secara dramatis.

Setelah kemenangan, Desi menemani Tania mengunjungi panti jompo. Ia membantu Tania mengajar. Desi belajar bahwa menghormati orang lain adalah kunci keberhasilan yang sesungguhnya, baik di lapangan maupun dalam kehidupan.

 

6. Contoh Cerpen berjudul Lomba Layangan di Kampung Pelangi

Kampung Pelangi dihuni oleh dua komunitas besar: Suku Jawa yang kental dengan tradisi kenduri (selamatan) dan Komunitas Tionghoa yang hidup dengan budaya Sembahyang Leluhur. Kedua kelompok ini hidup berdampingan, namun dipisahkan oleh sungai kecil dan, yang lebih penting, oleh kecurigaan yang diwariskan. Anak-anak mereka jarang berinteraksi.

Tahun ini, desa mengadakan Festival Layang-Layang. Ini adalah tradisi Suku Jawa, tetapi kali ini hadiahnya sangat menggiurkan: beasiswa pendidikan.

Bintang dari Komunitas Jawa adalah Jaka, yang terkenal ahli membuat layangan gapangan berukuran raksasa. Dari Komunitas Tionghoa ada Mei-Hwa, yang diam-diam sangat ahli dalam merancang aerodinamika layangan modern, meskipun dia tidak pernah diizinkan ikut karena orang tuanya menganggap itu buang-buang waktu.

Jaka dan Mei-Hwa diam-diam bertemu di tepi sungai. Jaka kesal karena layangannya yang besar selalu kalah lincah. Mei-Hwa tertarik pada layangan Jaka yang indah namun berat. Mereka mulai bertukar ilmu. Mei-Hwa mengajarkan Jaka tentang rasio berat-terhadap-daya angkat, sementara Jaka mengajarkan Mei-Hwa tentang seni mengendalikan tali di tengah angin yang berubah-ubah.

Komunitas Jawa melihat Jaka sering bertemu Mei-Hwa dan mulai bergosip. “Jaka sudah termakan sihir Komunitas Seberang,” kata mereka. Orang tua Mei-Hwa juga marah, “Kami menyuruhmu belajar, bukan bermain layangan Jawa!”

Pada hari Festival Layang-Layang, Jaka dan Mei-Hwa memutuskan untuk membuat satu layangan bersama. Layangan itu adalah gabungan: bingkainya dirancang dengan presisi matematis ala Mei-Hwa, tetapi kainnya dihiasi dengan motif Batik Parang Rusak buatan Jaka. Mereka menamainya “Garuda Pelangi”.

Saat layangan mereka mengudara, layangan itu menjadi yang paling stabil dan paling tinggi. Namun, di tengah pertempuran sengit, tali layangan mereka tersangkut di layangan lain. Tali itu menipis dan hampir putus. Jaka dan Mei-Hwa harus bekerja sama, Jaka dengan kekuatan dan instingnya menahan tarikan, sementara Mei-Hwa dengan perhitungan cepatnya mencari celah angin.

Saat mereka berjuang, seluruh warga dari kedua komunitas, yang awalnya saling mencibir, kini serentak berteriak memberi dukungan. Mereka melihat bukan lagi dua kelompok yang berbeda, melainkan dua anak yang bekerja keras. Mereka melihat kerukunan yang terbang tinggi.

Layangan “Garuda Pelangi” menang. Tapi yang lebih penting, kemenangan itu telah menjembatani sungai pemisah di antara mereka. Jaka dan Mei-Hwa membagi hadiah beasiswa itu. Orang tua Mei-Hwa akhirnya mengerti bahwa hobi Mei-Hwa adalah passion yang didukung oleh ilmu. Sesepuh Jawa merangkul ayah Mei-Hwa.

Malam harinya, perayaan kemenangan diadakan di tepi sungai, di mana kedua komunitas berbagi hidangan. Sejak saat itu, Kampung Pelangi benar-benar menjadi pelangi; berbeda-beda namun indah, dan saling menghargai adalah tali yang mengikat mereka.

 

7. Contoh Cerpen berjudul Kucing Oranye dan Sebuah Janji

Rafi (14 tahun) terkenal malas dan tidak bertanggung jawab. Kamarnya berantakan, dan tugas-tugas sekolahnya selalu dikerjakan mepet waktu. Suatu pagi, saat ia pulang sekolah, ia menemukan seekor anak kucing oranye di depan rumahnya, matanya sakit dan kakinya terluka.

Rafi membawa kucing itu masuk, meskipun ia tahu ia akan dimarahi ibunya. Ia menyembunyikannya di gudang. Ia menamai kucing itu “Oren”. Merawat Oren adalah hal paling sulit yang pernah Rafi lakukan. Ia harus bangun pagi untuk membersihkan kotoran, merawat luka di kaki Oren, dan memastikan kucing itu makan dan minum.

Suatu hari, Rafi ketiduran setelah bermain game. Ia lupa memberi makan Oren. Ketika ia bangun, ia mendapati Oren lemas. Rafi panik. Ia berlari ke apotek dan memohon dibelikan vitamin dan obat luka. Ia merasa sangat bersalah. “Maafkan aku, Ren. Aku janji, aku akan jadi orang yang bertanggung jawab,” bisik Rafi sambil mengusap kepala Oren.

Ibu Rafi akhirnya mengetahui keberadaan Oren. Ia tidak marah, melainkan terkejut. “Rafi, kamarmu masih berantakan, tapi kamu rajin sekali membersihkan gudang ini. Kamu merawat Oren dengan sangat baik.”

Rafi merasa malu. Sejak saat itu, ia menyadari bahwa tanggung jawab tidak bisa dipilah-pilah. Jika ia bisa bertanggung jawab atas kehidupan Oren, mengapa ia tidak bisa bertanggung jawab atas hidupnya sendiri, terutama tugas sekolahnya?

Rafi mulai berubah drastis. Ia membuat jadwal. Setelah memberi makan Oren dan membersihkan gudang, ia langsung mengerjakan tugas sekolah. Ia membersihkan kamarnya sendiri. Perubahan itu terlihat jelas. Nilai-nilai Rafi membaik, dan ia terlihat lebih ceria.

Beberapa bulan berlalu, Oren sembuh total. Bulunya mengilap, dan ia menjadi kucing yang aktif dan nakal (khas kucing oranye). Saat hari pembagian rapor, Rafi mendapat nilai yang memuaskan dan sebuah surat pujian dari guru wali kelasnya, yang menyoroti perubahannya menjadi siswa yang bertanggung jawab.

Ibu Rafi tersenyum haru. “Terima kasih, Oren,” bisiknya.

Rafi memeluk Oren erat. Ia tahu, seekor anak kucing oranye yang terluka telah mengajarkan kepadanya pelajaran paling berharga dalam hidup: Tanggung jawab dimulai dari hal kecil yang kamu cintai. Dan dengan memegang janji pada makhluk kecil itu, ia telah mengubah dirinya sendiri menjadi pribadi yang lebih baik.

 

8. Contoh Cerpen berjudul Hutan Merah karya Fauzia. A

       Matahari bersinar terik di Lampung. Sinarnya terhalang rimbunnya pepohonan, sehingga hanya menyisakan berkas tipis. Burung-burung berkicau seolah sedang menyanyikan lagu untuk alam. Bunyi riak jernih sungai beradu dengan batu kali berpadu dengan sahutan dari beberapa penghuni hutan yang lainnya. Ya, inilah tempat tinggal Bora, si anak gajah Lampung yang sekarang tengah asyik bermain bersama teman-temannya di sebuah sungai.

       Ketika Bora menyemprotkan air ke arah Dodo—anak gajah lainnya—dengan belalainya, ia pun memekik nyaring. Sampai akhirnya, kegembiraan mereka terpecah oleh bunyi bising dari sebelah utara hutan. Bunyi bising itu bercampur dengan deru sesuatu yang sama sekali tidak Bora kenal.

       “Hei, lihat itu!”

       Semua serentak menghentikan kegiatan mereka dan menengok ke langit yang ditunjuk Dodo. Asap hitam tebal yang membumbung tinggi dari sana. Asap itu semakin tebal dan terus menebal. Itu merupakan fenomena aneh yang baru pertama kali mereka saksikan. Selama ini yang mereka tahu, langit selalu berwarna biru cerah dengan awan putih berarakan.

Keheningan hutan itu kemudian pecah saat Teo tiba-tiba saja datang sambil memekik nyaring, “Hutan terbakar! Hutan terbakar!”

       Semua ikut memekik ketakutan. Hutan terbakar! Tempat tinggal mereka terbakar!

       “Bora! Apa yang kau lakukan!? Cepat pergi!” Pipin berteriak sambil menarik belalai Bora dengan belalainya..

       Suasana hutan yang tadinya damai tenteram, seketika menjadi neraka bagi semua hewan. Asap hitam pekat yang mulai menyelimuti seluruh hutan ini. Suhu udara mulai panas, membuat para hewan makin berteriak nyaring.

       Bora panik bukan main. Sambil mengikuti langkah Pipin, matanya bergerak ke sana-ke mari, mencari sosok ibunya.

       “Pipin! Di mana ibuku?” tanya Bora.

       “I-ibu … ibumu ….” Pipin tidak bisa menjawab karena sama-sama tidak tahu di mana ibu Bora berada.

       “Aku harus kembali ke sarang!” Bora melepaskan belalainya dari belalai Pipin, lalu berbalik untuk kembali ke sarangnya.

       Namun, sebelum Bora melancarkan niatnya itu, Pipin sudah menarik kembali belalainya. “Ibumu pasti sudah berada di depan. Bersama gajah dewasa lainnya.”

       Bora menghiraukan ucapan Pipin, lalu kembali meloloskan belalainya dan berlari sekuat mungkin menuju sarangnya.

       “Bora!” Pipin berteriak di belakangnya.

       Bora sampai di dekat sarangnya berada dengan napas terengah. Ia langsung membelalakkan mata begitu melihat sosok ibunya sedang bersusah payah keluar dari sarang. Api sudah menjalar di setiap pohon di dekat sarangnya itu.

       “Ibu!” teriak Bora sekuat tenaga.

       “Sedang apa kamu?! Cepat pergi dari sini!” teriak ibu Bora sambil menggerakkan belalainya, menyuruh Bora menjauh dari tempat ini.

       “Tidak! Aku tidak mau!” balas Bora keras kepala. Kenapa ibunya masih bisa berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas ia dalam keadaan terjebak api?

       “Cepat pergi, Bora!”

       “Bora! Ayo pergi!” Tiba-tiba saja Pipin datang ke tempatnya dan langsung menarik belalai Bora.

       “Tidak mau!” Bora menyentak belalai Pipin keras. “Ibu! Aku akan menyelamatkanmu!”

       “Jangan, Bora!” bentak Pipin

       Kraaak! Braaak!

       “IBU!! IBU!!” Bora terus meraung memanggil ibunya. Pohon yang sedang terbakar itu jatuh dan kemudian menimpa tubuh payah ibu Bora.

       “Ayo, Bora, kita harus pergi,” lirih Pipin sambil menarik Bora.

       Sekali lagi Bora menoleh ke belakang saat dirinya sudah cukup jauh dari sarangnya. Tidak ada lagi hutan hijau dengan tumbuhan rindang di sekitarnya. Hutan hijau yang selalu ia kagumi sudah berubah menjadi hutan merah yang sangat panas.

Baca juga: Contoh Teks Editorial Singkat Beserta Strukturnya

 

9. Contoh Cerpen berjudul Dilema Nara karya Alya Khalisah

Nara  terbangun karena sinar matahari menembus jendela kamarnya yang entah sejak kapan terbuka. Sejenak, ia hanya menatap langit-langit kamar. Matanya masih terasa sembab, sisa tangisan tadi malam.

Kemudian, Nara bangun dan duduk di sisi ranjang kecilnya. Gadis itu memandang sekeliling kamar, dan tiba-tiba, suara pecahan kaca terdengar dari luar.

Nara menutup kedua telinganya kuat-kuat, enggan mendengar apa pun. Setetes bening air matanya bergulir di pipi. Wajahnya dibenamkan dalam kedua telapak tangan yang lemah. Rasanya ia sudah tak sanggup lagi hidup dalam situasi seperti ini. Ia tak kuat hidup dalam lingkaran kesedihan yang menggiringnya menuju kegilaan.

Nara berjalan perlahan ke luar rumah, di antara jalanan sepi sambil menundukkan kepala seolah malu dunia melihatnya. Ia menatap siluet hitamnya di antara bayang-bayang pepohonan dan rumah. Nara berhenti melangkah saat seseorang menghalangi bayangannya.

“Ada yang ingin kukatakan padamu.” Orang itu mulai berbicara kepadanya.

Nara mendongak. Wajahnya terasa familiar.

“Kenapa?” Gadis itu bertanya dengan wajah datar, tapi Nara  hanya diam. “KENAPA KAMU HARUS LAHIR DI DUNIA INI?!” Ia mulai membentak.

Gadis itu melayangkan telapak tangannya ke pipi Nara. “PERGI!”

 Nara  tak sanggup menatap lawan bicaranya. Ia hanya memegang pipinya yang terasa nyeri karena tamparan barusan. Hilanglah dari dunia ini, dasar penghancur keluarga orang! hardik gadis itu. Nara terisak diiringi suara teriakan gadis itu di telinganya. Tetesan bening meleleh, merayapi sudut wajahnya.

Nara adalah anak perempuan biasa yang hidup dengan kasih sayang utuh dari orang tua. Ia hidup berkecukupan, bahkan lebih. Semula, ia mengira hidup dalam zona kesempurnaan. Tetapi ternyata, semua itu hanya bualan. Ayahnya, ternyata, seorang pria yang telah berkeluarga. Saat itulah ia menyadari, ibunya adalah istri kedua ayahnya.

Keluarganya tidak diinginkan oleh semua orang. Ibunya dianggap wanita yang tak punya harga diri. Tidak ada yang sudi berbagi nafas dan tempat dengan keluarga Nara. Mereka tidak pernah mau tahu separah apakah kerusakan jiwa yang mendera orang yang mereka cemooh.

Istri pertama ayah Nara adalah sahabat dekat ibu Nara. Sahabat dekat yang saling mengaitkan janji satu sama lain sejak duduk di bangku sekolah untuk tidak mengkhianati. Begitu istri pertama ayahnya mengetahui apa yang telah terjadi, ia tentu syok berat. Suami yang ia cintai, berpaling darinya. Sahabat yang paling ia percaya, mengkhianatinya dalam waktu yang sama.

Nina, anak istri pertama ayahnya, pun tak percaya. Ia nyaris pingsan saat ayahnya mengungkapkan hal itu sendiri. Selanjutnya, teror mulai berdatangan sebagai tanda balas dendam. Mulai dari pecahnya kaca jendela di rumah, hingga lemparan api untuk rumahnya.

“Na?” Lamunan Nara terhenti. Gadis itu tetap diam, memandang kosong.

“Nara? Sayang, kamu ada di dalam, kan?” Panggilan itu tak membuat Nara beranjak dari posisi yang nyaman bagi dirinya. Kemudian ketukan demi ketukan tak bernada mulai terdengar dari balik pintu.

“Nara, buka pintunya, Sayang. Ibu mau bicara mengenai kepindahan kita,”

Memang, keluarganya berencana untuk pindah. Pindah ke wilayah yang cukup jauh untuk mengubur kelamnya masa lalu dan melanjutkan hidup. Tapi baginya, pindah rumah hanyalah bentuk pelarian diri. Raganya takkan teraniaya lagi. Namun, jiwa dan pikirannya telah menyatu dengan frustasi berkepanjangan yang diderita Nara selama ini. Ia tetap tidak akan hidup dalam damai seperti sebelumnya.

Nara bergeming. Dalam pikirannya yang kalut, ia mengingat Nina. Gadis itu ingi ia lenyap dari dunia ini. Ia ingin Nara musnah. Nara tahu apa artinya itu.

*

Nara memandangi tubuh kakunya yang ditumpahi tangisan dan penyesalan yang terlontar dari ayah dan ibunya. Ia tertegun dan mengingat kejadian yang terasa begitu cepat.

Awalnya, ia berniat memutuskan urat nadi tangan kirinya dengan gunting hijau kesukaannya. Awalnya, ia tidak mau melihat orangtuanya menangis hebat sambil memeluknya. Awalnya, ia ingin merasakan rasa sakit yang mendera jiwanya lebih lama lagi. Namun, saat ia menutup mata dan menguatkan diri atas segala risiko perbuatannya nanti, seberkas cahaya putih menyinari dirinya. Sesaat, ia pikir cahaya itu hanya datang dari luapan fantasinya ketika ia sudah berhasil mati. Kemudian Nara tahu, kematiannya akan membawa segala keadaan berubah menjadi baik. Inilah yang diinginkan semua orang.

Nara tersenyum. Sedikit pun, ia tak merasakan kesedihan. Ia hanya merasakan gema bebas dan damai berdengung dalam pikirannya. Sekarang, ia tak perlu lagi menerima berbagai bentuk kekerasan mental dari orang-orang di sekitarnya. Ia sudah bebas dan hidup dalam kedamaian yang dirindukan.

Nara menutup matanya, merasakan seluruh sensasi dan kenikmatan damai yang mengalir di sekujur tubuhnya. Berkas-berkas cahaya itu kembali datang dan menyinari tubuhnya, menuntun gadis kecil itu menuju dimensi lain. Dimensi yang akan membawanya menuju keabadian.

Baca juga: Contoh Teks Laporan Hasil Observasi, Pengertian & Struktur

 

10. Contoh Cerpen Panjang berjudul Badai yang Reda karya Fauzia. A

Puluhan layang-layang yang berada di atas kepalaku terlihat seperti rangkaian burung yang sedang bermigrasi. Angin pantai yang berhembus kencang membuat mereka terbang lebih jauh dan tinggi, tapi tetap di bawah kendali kekangan tali kenur. Aku ingin seperti layang-layang. Walau beberapa orang yang kukenal mengatakan, hidup seperti layang-layang tidak sepenuhnya bebas. Sekilas terlihat bebas, tapi sebuah tali tipis namun kuat mengaturnya.

Tapi aku tetap ingin menjadi layang-layang yang terbang tinggi di langit Pangandaran yang cerah ini.

Aku melihat sekeliling, pertengahan bulan Juli memang puncak liburan di mana-mana. Banyak wisatawan asing yang sedang bermain di Pantai Selatan ini. Entah itu bermain layang-layang atau hanya sekadar duduk-duduk menikmati pemandangan Pantai Pangandaran yang cerah ini. Aku sendiri sedang duduk di depan kios Uwak Imas yang berjualan pakaian.

Bau amis khas laut (dan juga karena pabrik ikan asin yang tidak jauh dari tempatku sekarang) sudah menjadi udara sehari-hari yang kuhirup. Sinar matahari yang terik menyentuh kulitku dengan ganas, tapi aku tetap bertahan duduk di luar kios. Pasalnya, Uwak Imas tengah sibuk melayani turis asing yang ingin membeli dagangannya. Aku tidak mau masuk, karena pasti Uwak Imas akan menyuruhku untuk melayani turis-turis itu, walaupun dia tahu kalau aku hanya bisa “yes” dan “no”.

Ketika aku mengalihkan pandangan dari layang-layang, aku melihat Bapak dan tiga orang lainnya berada di bibir pantai, bersiap untuk berlayar. Seingatku, Bapak sudah berlayar tadi malam, dan baru kembali tadi subuh. Kenapa sekarang mereka siap-siap ingin berlayar lagi? Apa tiba-tiba radar di kapal milik Haji Miun menangkap segerombolan ikan tuna di tengah laut sana? Eiy … itu pemikiran bodoh! Satu-satunya alat canggih yang mereka gunakan adalah naluri nelayan mereka yang sudah berpuluh-puluh tahun lamanya.

Kakiku bergerak ke arah mereka. Angin berhembus sangat keras di telingaku. Dibesarkan di pesisir pantai membuat aku memiliki ketakutan yang berbeda dari orang lain. Di saat orang lain ketakutan melihat keluarganya terombang-ambing ombak, aku merasakan hal yang jauh daripada itu. Aku takut membenci laut. Aku takut jika laut yang selama ini kuanggap teman, berbalik menjadi musuhku dan melenyapkan segala yang kucintai.

Bagiku laut adalah rumah, dan rumahku adalah laut.

Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai padaku sambil tersenyum. Kulitnya hitam karena terbakar matahari, rambutnya sudah memudar—bukan karena uban tapi karena sering terkena air laut. Bapakku masih terlihat segar, meski wajahnya sudah dipenuhi keriput.

Mata Bapak yang berwarna hitam pekat tampak bercahaya saat melihatku, seperti air laut yang memantulkan sinar matahari. Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi entah kenapa kakiku bergetar melihat Beliau sekarang.

“Bapak bade ka laut deui (Bapak mau ngelaut lagi)?”

Bapak meletakkan jaring yang baru selesai ia rapikan ke dalam perahu. “Sanes, Jang. Iyeu Pak Sudir ngajak museup, mempeung cuacana sae (enggak, Jang. Ini Pak Sudir ngajak mancing, mumpung cerah katanya).”

“Ujang bade ngiring moal (Ujang mau ikut juga)?”

Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut laut, hanya saja… seperti ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja, perasaan seperti ini sudah sangat sering kurasakan—terutama saat melihat Bapak pergi berlayar tengah malam. Tapi tetap saja aku merasa asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di tengah badai, di tengah laut.

Ah… atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae lah (udah, kamu jagain kios Uwak-mu sana).”

Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke atas perahu dan berlayar bersama tiga orang pria lainnya. Rasanya… sama seperti melihat Ibu meninggalkan rumah di hari itu. Umurku saat itu sudah menginjak dua belas tahun, cukup mengerti tentang situasi macam itu. Dan sejak saat itu aku tidak pernah menangis lagi untuk Ibu, karena air mata ini tidak cukup untuk membawanya kembali.

Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk membuat perahu yang ditumpangi Bapak berbalik lagi?

Konyol! Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak tujuh belas tahun.

Aku tidak meninggalkan bibir pantai dan terus menatap perahu Bapak yang sudah tidak terlihat mata. Sesekali ombak menerpa kakiku. Tidak peduli dengan sinar menyengat matahari Pantai Selatan dan turis-turis yang masih memadati sisi pantai sebelah sana, aku tetap duduk di atas bebatuan. Sesekali mataku menangkap keluarga yang asik bermain air atau hanya duduk-duduk di atas pasir.

Aku mungkin sama seperti mereka jika tidak dibesarkan di laut—menganggap laut sebagai tempat menyenangkan. Tapi aku tidak bisa tertawa seperti itu, sekalipun aku menganggap laut adalah rumah dan temanku. Laut menyimpan banyak ketakutan dan kekhawatiran.

Aku menutup mata, berdoa sambil merasakan angin menerpa tubuhku dan ombak yang terus membasahi kakiku. Kumohon… kali ini pun, jaga Bapak.

Hari semakin sore, matahari pun sudah tidak seterik sebelumnya. Meski kekhawatiran itu masih ada, aku beranjak dari bebatuan dan kembali ke kios Uwak Imas. Begitu aku sampai di sana, Uwak Imas langsung menyambutku dengan semprotan mulut bawelnya. Aku hanya nyengir, tidak mau melawan sekaligus menutupi kekhawatiranku. Aku baru akan merasa lega kalau sudah melihat Bapak kembali.

Karena sudah tidak ada lagi orang bule yang mendatangi kios Uwak, hanya turis domestik, aku pun mulai membantunya di kios. Aku hampir melempar uang koin lima ratusan ke wajah pembeli yang baru selesai membayar ini saat suara Uwak Imas tiba-tiba memekik keras di depan kios. Aku dan pembeli itu pun melihat ke arah luar, dan kemudian menghampiri Uwak Imas. Ternyata Uwak Imas tidak sendiri, ada Bi Iyah dan Mang Satya—penjual pakaian lainnya sekaligus tetanggaku—juga.

Suara naon eta? Saumur hirup nembe ngadangu sora ombak sepertos kitu (suara apa itu? seumur hidup baru dengar suara ombak seperti itu).”

Ucapan Uwak Imas ditanggapi dua orang lainnya dengan heboh. Aku mengabaikan mereka dan memilih memandangi pantai dari tempatku. Tadi di kios Uwak suara radio dipasang keras-keras, jadi aku tidak bisa mendengar jelas suara yang Uwak bilang. Benarkah suara ombak sekeras itu?

Mataku memicing. Kios ini tidak jauh dari titik keramaian pantai, oleh sebab itu Uwak tidak pernah sepi pembeli. Keramaian di sana tidak jauh berbeda dari beberapa saat lalu, saat aku duduk di atas bebatuan. Suara teriakan bahagia terdengar sampai sini. Namun beberapa detik kemudian, teriakan bahagia itu menjadi pekikkan ketakutan.

Allahu Akbar! Ombak! Ombak!”

Teriakan itu bersahut-sahutan. Gemuruh yang—mungkin—hanya didengar Uwak Imas, kini aku bisa mendengarnya juga. Orang-orang berlari ke arah kami. Tidak, lebih tepatnya menjauh dari bibir pantai ke tempat sejauh mungkin. Tapi aku tidak bisa bergerak meski keadaan sangat kacau di sekitarku. Suaraku hanya tertahan sampai tenggorokan, dan mataku hanya bergerak ke atas, mengikuti gerakkan ombak di atas kepalaku. Telingaku teredam. Seluruh tubuhku bergerak mengikuti alur, terhempas. Nafasku terasa begitu perih, dan itu menjulur ke semua bagian tubuhku.

“Bapak…”

Dengan sisa kekuatanku, aku berucap pada diri sendiri.

Di dalam kegelapan pandanganku.

***

         Suara pedih mengelilingiku. Bagai asap pekat yang menyesakkan dada, tidak mudah hilang meski aku meniupnya terus menerus, tetap menyerang paru-paru, serapat apapun aku menutup hidung. Suara orang-orang bersahutan, saling berteriak. Seolah waktu terus mengejar mereka tanpa lelah, mereka pun tidak berhenti bergerak.

Dalam kericuhan itu, kulihat sosok ringkih yang kusayangi berdiri dengan mata memerah di ujung sana. Aku tahu Beliau menangis, tapi aku tidak bisa mendengar suaranya. Kaos belel yang ia dapat dari kampanye partai politik beberapa tahun yang lalu tampak basah kuyup, begitu juga dengan celana kain hitamnya. Ia meremas topi yang tadi siang ia kenakan.

Langit malam di belakangnya, seperti latar belakang yang menggambarkan kehampaannya. Dan aku hanya bisa berdiri di sini, tanpa bisa mengucapkan kata atau bahkan menggerakan kaki untuk mendekatinya. Kakinya yang gemetar, perlahan menekuk, berjongkok di depan sosok kurus yang terbujur kaku. Lalu, seluruh tubuhnya bergetar, tanpa terkecuali.

Bapak terus menunduk, tidak mengucapkan apapun, dan lama kelamaan aku bisa merasakan hujan membasahi tubuhku sangat deras, seperti air mata Bapak yang tidak bisa berhenti. Tangannya menggapai-gapai sesuatu dengan isak tangis pilunya memenuhi paru-paru.

Seseorang datang setelahnya, berusaha menghentikan Bapak yang seperti rela berbaring di sana untuk menemani sosok itu. Sekuat apapun Bapak berteriak, semua tidak akan kembali. Dan bodohnya, aku hanya bisa berdiri di sini.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Hanya membiarkan mereka menutup kantong kuning yang membungkus tubuhku, menyisakan tangis pedih Bapak di antara huru-hara yang terjadi di sana. Kegelapan itu pun berubah menjadi cahaya terang.

Berjalan menuju cahaya menyilaukan itu, sekali lagi aku berharap. Laut, kumohon kali ini—tidak, maksudku selamanya—jaga Bapak.

 

11. Contoh Cerpen berjudul Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis

Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di neraka itu banyak temannya di dunia terpanggang panas, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan, ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar Syeh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, lalu bertanya kenapa mereka di neraka semuanya. Tetapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun tak mengerti juga.

“Bagaimana Tuhan kita ini?” kata Haji Saleh kemudian. “Bukankah kita disuruh-Nya taat beribadah, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan ke neraka.”

“Ya. Kami juga berpendapat demikian. Tengoklah itu, orang-orang senegeri kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat.”

“Ini sungguh tidak adil.”

“Memang tidak adil,” kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

“Kalau begitu, kita harus minta kesaksian kesalahan kita. Kita harus

mengingatkan Tuhan, kalau-kalau ia silap memasukkan kita ke neraka ini.”

“Benar. Benar. Benar,” sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

“Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?” suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.

“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Saleh.

“Apa kita revolusikan juga?” tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.

“Itu tergantung pada keadaan,” kata Haji Saleh. “Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.”

“Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.

“Setuju! Setuju! Setuju!” mereka bersorak beramai-ramai.

Lalu, mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. Dan Tuhan bertanya, “ Kalian mau apa?”

Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya.

“O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. KitabMu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun membacanya.

Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi halhal yang tidak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kau jatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam kitab-Mu.”

“Kalian di dunia tinggal di mana?” tanya Tuhan.

“Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.”

“O, di negeri yang tanahnya subur itu?”

“Ya. Benarlah itu, Tuhanku.”

“Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?”

“Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami,” mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

“Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?”

“Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.”

“Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat itu?”

“Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.”

“Negeri yang lama diperbudak orang lain itu?” “Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah penjajah itu, Tuhanku.”

“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya dan diangkutnya ke negerinya, bukan?”

“Benar Tuhanku, hingga kami tidak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.”

“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”

“Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu, kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.”

“Engkau rela tetap melarat, bukan?”

“Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.”

“Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?”

“Sungguhpun anak cucu kami melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala belaka.”

“Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?”

“Ada, Tuhanku.”

“Kalau ada, mengapa biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua? Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri engkau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.

Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin? Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembah-Ku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka! Hai malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.”

Semuanya jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia.

Tetapi Haji Saleh ingin juga kepastian, apakah yang dikerjakannya di dunia ini salah atau benar. Tetapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan, ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.

“Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?” tanya Haji Saleh.

“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, hingga mereka itu kucar-kacir selamanya.. Itulah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”

Demikian cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.

Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.

“Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget.

“Kakek.”

“Kakek?”

“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang ngeri sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.”

“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya melangkah secepatnya meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.

Aku mencari Ajo Sidi ke rumahnya. Tetapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.

“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi. “Tidak ia tahu Kakek meninggal?”

“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kafan buat Kakek tujuh lapis.” “Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana dia?”

“Kerja.”

“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.

“Ya. Dia pergi kerja.”***

 

12. Cerpen berjudul Pejuang karya Maria Maghdalena Bhoernomo

Lelaki tua itu selalu suka mengenakan lencana merah putih yang disematkan di bajunya. Di mana saja berada, lencana merah putih selalu menghiasi penampilannya.

Ia memang seorang pejuang yang pernah berperang bersama para pahlawan di masa penjajahan sebelum bangsa dan negara ini

merdeka. Kini semua teman seperjuangannya telah tiada. Sering ia bersyukur karena mendapat karunia umur panjang. Ia bisa

menyaksikan rakyat hidup dalam kedamaian.

Tak lagi dijajah oleh bangsa lain. Tidak lagi berperang gerilya keluar masuk hutan. Tapi ia juga sering meratap-ratap setiap kali membaca koran yang memberitakan keadaan negara ini semakin miskin akibat korupsi yang telah dianggap wajar bagi semua pengelola negara.

Banyak kekayaan negara juga dikuras habis-habisan oleh perusahaan-perusahaan asing yang berkolaborasi dengan elite

politik. Kini, semua elite politik hidup dalam kemewahan, persis seperti para pengkhianat bangsa sebelum negara ini merdeka. Dulu, pada masa penjajahan, para pengkhianat bangsa menjadi mata-mata Kompeni.

Mereka tega mengorbankan anak bangsa sendiri demi keuntungan pribadi. Mereka mendapat berbagai fasilitas mewah. Seperti rumah, mobil dan juga perempuan-perempuan cantik. Ia tiba-tiba teringat pengalamannya membantai sejumlah pengkhianat bangsa di masa penjajahan.

Saat itu ia ditugaskan oleh Jenderal Sudirman untuk membersihkan negara ini dari pengkhianat bangsa yang telah tega mengorbankan siapa saja demi keuntungan pribadi. ”Para pengkhianat bangsa adalah musuh yang lebih berbahaya dibanding Kompeni. Mereka tak pantas hidup di negara sendiri. Kita harus menumpasnya sampai habis. Mereka tak mungkin bisa diajak berjuang karena sudah nyatanyata berkhianat,” Jenderal Sudirman berbisik di telinganya ketika ia ikut bergerilya di tengah hutan.

Ia kemudian bergerilya ke kota-kota menumpas kaum pengkhianat bangsa. Ia berjuang sendirian menumpas kaum pengkhianat bangsa. Dengan menyamar sebagai penjual tape singkong dan air perasan tape singkong yang bisa diminum sebagai pengganti arak atau tuak,ia mendatangi rumah-rumah kaum pengkhianat bangsa. Banyak pengkhianat bangsa yang gemar membeli air perasan tape singkong.

Dasar kaum pengkhianat, senangnya hanya mengumbar nafsu saja. Ia begitu dendam kepada kaum pengkhianat bangsa. Mereka harus ditumpas habis dengan cara apa saja. Dan ia memilih cara paling mudah tapi sangat ampuh untuk menumpas kaum pengkhianat bangsa. Air perasan tape singkong sengaja dibubuhi racun yang diperoleh dari seorang sahabatnya berkebangsaan Tionghoa yang sangat mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Entah terbuat dari bahan apa, racun itu sangat berbahaya. Jika dicampur dengan air perasan tape singkong, lalu diminum, maka dalam waktu dua jam setelah meminumnya, maka si peminum akan tertidur untuk selamanya. Tak ada yang tahu, betapa kaum pengkhianat bangsa tewas satu persatu setelah menenggak air perasan tape singkong yang telah dicampur dengan racun.

Dokter-dokter yang menolong mereka menduga mereka mati akibat serangan jantung. Dukun-dukun yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat terkena santet. Pemukapemuka agama yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat kutukan Tuhan karena mereka telah banyak berbuat dosa.

 

13. Contoh Cerita Pendek berjudul Persahabatan Sejati

Saat ini aku berada di kelas 3 SMP, setiap hari kujalani bersama dengan ketiga sahabatku yaitu Aris, Andri, dan Ana. Kita berempat sudah bersahabat sejak kecil.

Suatu saat kami menulis surat perjanjian persahabatan di sobekan kertas yang dimasukkan ke dalam sebuah botol, kemudian botol tersebut dikubur di bawah pohon yang nantinya surat tersebut akan kami buka saat kami menerima hasil ujian kelulusan.

Hari yang kami berempat tunggu akhirnya tiba, kami pun menerima hasil ujian dan hasilnya kita berempat lulus semua.

Kami serentak langsung pergi berlari ke bawah pohon yang pernah kami datangi dan menggali tepat di mana botol yang dahulu dikubur berada.

Kemudian, kami berempat membuka botol tersebut dan membaca tulisan yang dulu pernah kami tulis. Kertas tersebut bertuliskan “Kami berjanji akan selalu bersama untuk selamanya.”

Keesokan hari, Aris berencana untuk merayakan kelulusan kami berempat.

Malamnya kami berempat pergi bersama ke suatu tempat dan disitulah saat-saat yang tidak bisa aku lupakan karena aris berencana untuk menyatakan perasaannya kepadaku. Akhirnya aku dan Anis berpacaran.

Begitu juga dengan Andri, dia pun berpacaran dengan Ana. Malam itu sungguh malam yang istimewa untuk kami berempat. Kami pun bergegas untuk pulang.

Ketika perjalanan pulang, entah mengapa perasaanku tidak enak.

“Perasaanku nggak enak banget ya?” Ucapku penuh cemas.

“Udahlah Ndi, santai aja, kita nggak bakalan kenapa-kenapa” jawab Andri dengan santai.

Tidak lama setelah itu, hal yang dikhawatirkan Nindi terjadi.

“Arissss awasss! di depan ada juang!” Teriak Nindi.

“Aaaaaaaaaa!!!”

Bruuukkk. Mobil yang kami kendarai masuk ke dalam jurang. Aku tak kuasa menahan air mata yang terus mengalir sampai aku tidak sadarkan diri.

Perlahan aku buka mataku sedikit demi sedikit dan aku melihat ibu berada di sampingku.

“Nindi.. kamu sudah sadar, Nak?” Tanya ibuku.

“Ibu.. aku di mana? Di mana Ana, Andri, dan Aris?” tanyaku.

“Kamu di rumah sakit Nak, kamu yang sabar ya, Andri dan aris tidak tertolong di lokasi kecelakaan” Jawab ibu sambil menitikkan air mata.

Aku terdiam mendengar ucapan ibu dan air mataku menetes, tangisku tiada henti mendengar pernyataan ibu.

“Aris, mengapa kamu tinggalkan aku, padahal aku sayang banget ke kamu, aku cinta kamu, tapi kamu ninggalin aku begitu cepat, semua pergi ninggalin aku.” batinku berkata.

Lantas, 2 hari berlalu dan aku berkunjung ke makam mereka, aku berharap kami bisa menghabiskan waktu bersama sampai tua. Tetapi sekarang semua itu hanya angan-angan. Aku berjanji akan selalu mengenang kalian.

 

14. Contoh Cerpen berjudul Ketika Laut Marah karya Widya Suwarna

Sudah empat hari nelayan-nelayan tak bisa turun ke laut. Pada malam hari, hujan lebat turun. Gemuruh gelombang, tiupan angin kencang di kegelapan malam seolah-olah memberi tanda bahwa alam sedang murka, laut sedang marah. Bahkan, bintang-bintang pun seolah tak berani menampakkan diri.

Nelayan-nelayan miskin yang menggantungkan rezekinya pada laut setiap hari bersusah hati. Ibu-ibu nelayan terpaksa merelakan menjual emas simpanannya yang hanya satu dua gram untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Mereka yang tak punya benda berharga terpaksa meminjam pada lintah darat.

Namun, selama hari-hari sulit itu, ada pesta di rumah Pak Yus. Tak ada yang menikah, tak ada yang ulang tahun, dan Pak Yus juga bukan orang kaya. Pak Yus hanyalah nelayan biasa, seperti para tetangganya.

Pada hari-hari sulit itu, Pak Yus menyuruh istrinya memasak nasi dan beberapa macam lauk-pauk banyak-banyak. Lalu, ia mengundang anak-anak tetangga yang berkekurangan untuk makan di rumahnya. Dengan demikian rengek tangis anak yang lapar tak terdengar lagi, diganti dengan perut kenyang dan wajah berseri-seri.

Kini tibalah hari kelima. Pagi-pagi Ibu Yus memberi laporan, “Pak, uang kita tinggal 20.000. Kalau hari ini kita menyediakan makanan lagi untuk anak-anak tetangga, besok kita sudah tak punya uang. Belum tentu nanti sore Bapak bisa melaut!”

Pak Yus terdiam sejenak. Sosok tubuhnya yang hitam kukuh melangkah ke luar rumah, memandang ke arah pantai dan memandang ke langit. Nun jauh di sana segumpal awan hitam menjanjikan cuaca buruk nanti petang.

Kemudian, ia masuk ke rumah dan berkata mantap, “Ibu pergi saja ke pasar dan berbelanja. Seperti kemarin, ajak anak-anak tetangga makan. Urusan besok jangan dirisaukan.”

Ibu Yus pergi ke dapur dan mengambil keranjang pasar. Seperti biasa, ia patuh pada perintah suaminya. Selama ini Pak Yus sanggup mengatasi kesulitan apa pun. Sementara itu Pak Yus masuk ke kamar dan berdoa. la mohon agar Tuhan memberikan cuaca yang baik nanti petang dan malam. Dengan demikian para nelayan bisa pergi ke laut menangkap ikan dan besok ada cukup makanan untuk seisi desa.

Siang harinya, anak-anak makan di rumah Pak Yus. Mereka bergembira. Setelah selesai, mereka menyalami Pak dan Bu Yus lalu mengucapkan terima kasih.

“Pak Yus, apakah besok kami boleh makan di sini lagi?” seorang gadis kecil yang menggendong adiknya bertanya. Matanya yang besar hitam memandang penuh harap.

Ibu Yus tersenyum sedih. la tak tahu harus menjawab apa. Tapi dengan mantap, dengan suaranya yang besar dan berat Pak Yus berkata, “Tidak Titi, besok kamu makan di rumahmu dan semua anak ini akan makan enak di rumahnya masing-masing.”

Titi dan adiknya tersenyum. Mereka percaya pada perkataan Pak Yus. Pak Yus nelayan berpengalaman. Mungkin ia tahu bahwa nanti malam cuaca akan cerah dan para nelayan akan panen ikan.

Kira-kira jam empat petang Pak Yus ke luar rumah dan memandang ke pantai. Laut tenang, angin bertiup sepoi-sepoi dan daun pohon kelapa gemerisik ringan. Segumpal awan hitam yang menjanjikan cuaca buruk sirna entah ke mana. la pergi tanpa pamit.

Malam itu, Pak Yus dan para tetangganya pergi melaut. Perahu meluncur tenang. Para nelayan berhasil menangkap banyak ikan. Ketika fajar merekah perahu-perahu mereka menuju pantai dan disambut oleh para anggota keluarga dengan gembira.

Pak Yus teringat pada anak-anak tetangga. Tuhan telah menjawab doanya. Semua nelayan itu mendapat rezeki. Hari itu tak ada pesta di rumah Pak Yus. Semua anak makan di rumah ibunya masing-masing. Sekali lagi di atas perahunya, Pak Yus memanjatkan doa syukur.

 

15. Contoh Cerpen berjudul Koin Hitam karya Agus Noor

Kupandangi koin perak yang telah menghitam itu. Tergeletak di meja. Kau tahu, sejak dulu aku tak mau keping koin itu. Tapi tiap kali aku datang ke rumahmu hendak mengembalikannya, yang ada hanya istrimu. Senyumnya yang manis menyuruhku masuk, matanya yang gelisah melirik ke halaman, takut ada yang memergoki.

Setelah kau mati, aku pun sudah berusaha membuang jauh-jauh koin itu berkali-kali. Membuangnya ke selokan. Membuangnya ke tempat sampah. Bahkan sampai jauh ke luar kota. Tapi koin itu selalu saja kembali. Begitu saja: tiba-tiba sudah tergeletak di meja.

 

16. Contoh Cerpen tentang Kucing Lucu bernama Katty

Aku punya kucing yang lucu dan manis. Namanya adalah Katty. Dia berwarna putih dengan corak abu-abu di tubuhnya. Dia memiliki telinga dan mata yang bulat. Kucingku juga sangat suka makan dan tidur seharian.

Katty adalah teman baikku. Dia selalu menemaniku untuk bermain di rumah setelah aku pulang. Dia suka mengendus-endus dan berlari-lari di sekitarku. Katty juga suka dielus dan dipeluk. Dia sangat jinak dan tidak pernah menggigit ataupun mencakar.

Aku sangat sayang Katty. Aku selalu merawatnya dengan baik. Aku pun sering memberi makan dan minum yang cukup. Tidak lupa, aku pun sering membersihkan kandangnya setiap hari. Dan juga membawanya ke dokter hewan saat Katty sakit.

Katty adalah kucing yang lucu dan manis. Aku sangat beruntung memiliki dia sebagai temanku. Aku berharap dia bisa hidup lama dan sehat selalu.

 

17. Contoh Cerita Pendek tema Pendidikan

Ada seorang anak bernama Gema, dia merupakan murid kelas 6 SD yang sangat pintar dan baik hati. Di sekolah sangat banyak teman yang menyukainya karena sikapnya tersebut.

Tidak jarang, semua ingin berteman dengan Gema. Ada lagi anak perempuan bernama Nurul, ia berbanding terbalik dengan Gema. Ia pintar namun sangat sombong. Temannya hanya dua yaitu Mawar dan Melati, gadis kembar di sekolahnya.

Suatu hari, Ibu guru mengumumkan bahwa akan ada perlombaan membaca pidato dua minggu lagi. Bu Yati selaku wali kelas 6 membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa saja yang ingin ikut seleksi.

Gema dan Nurul jelas ikut berpartisipasi. Setiap hari mereka selalu latihan membaca pidato agar lolos seleksi. Sampai hari penyeleksian tiba, keduanya memberikan tampilan yang memukau lalu dinyatakan lolos.

Saat hari perlombaan tiba, Nurul terus saja membanggakan dirinya, menyatakan bahwa pasti ia akan juara. Sebab sebelumnya dia juga pernah menjadi juara waktu kelas 5 SD di lomba pidato.

Berbeda dengan Gema, ia tidak henti-hentinya berdoa dan berlatih, mencoba menghafal kembali teks pidato. Ita pun dipanggil lebih dulu, sang juara kelas 5 SD kini mendadak lupa teks pidato yang sudah dihafalnya.

Setelah itu, Gema maju dan memberikan penampilan yang sangat bagus. Semua juri kagum termasuk Bu Yati yang saat itu datang untuk menemani mereka lomba.

Pengumuman pun tiba, Gema keluar menjadi juara 1 sedangkan Nurul harus menahan air matanya karena dia tidak menang sama sekali.

 

18. Contoh Cerpen berjudul Indahnya Berbagi dengan Sahabat

Pagi itu hujan turun dengan deras. Ani merasa bingung bagaimana untuk berangkat ke sekolah. Ketika sedang memandang hujan, terdengar suara HP berdering dari kamar Ani, lantas saja Ani masuk ke kamar dan menjawab telepon.

Ternyata yang menghubungi Ani adalah Lia sahabatnya. Dalam teleponnya Lia mengatakan bahwa ia akan menjemput Ani, sebab Lia tahu jika Ani sedang kebingungan bagaimana untuk pergi ke sekolah.

Tak selang berapa lama, Lia sudah sampai di depan rumah Ani bersama ayahnya menggunakan mobil. Ani pun bergegas berpamitan pada orang tuannya dan keluar untuk menemui Lia.

Setelah sampai di sekolah, yang merupakan teman sebangku tersebut pun masuk menuju kelasnya. Istirahat pun tiba, keduanya pergi ke kantin untuk menghilangkan rasa lapar. Ketika hendak membayar ternyata Lia lupa membawa dompet. Sehingga Ani sang sahabat membayarkannya.

 

19. Contoh Cerpen berjudul Tukang Ramal karya Agus Noor

Kita belum lagi genap tiga belas tahun ketika datang ke pasar malam itu. Keramaian dan lampu warna-warni seperti mimpi yang ganjil. Aku pingin gulali, tapi kau mengajakku ke tukang ramal bermata juling. Kau ingin tahu, bagaimana nanti kita mati.

Tukang ramal itu menyeringai menatap kita. “Kalian memang sahabat yang luar biasa,” katanya, “karena menyintai perempuan yang sama.” Kita masih saling bertatapan, ketika tukang ramal itu menarik tanganku. “Dan kau, kau akan mati karena tabrak lari.”

 

20. Contoh Cerpen berjudul Kancil dan Buaya karya Syrli Martin

Alkisah, di sebuah pinggir hutan, terdapat seekor Kancil yang sangat cerdik. Ia hidup di hutan bersama hewan-hewan lainnya, di antaranya ada kerbau, gajah, kelinci, dan masih banyak lagi. Si Kancil selalu mencari makan di pinggiran sungai.

Pada suatu hari, ia merasa sangat lapar. Kemudian, si Kancil bergagas pergi untuk mencari makan. Setibanya di tepi sungai, ia melihat sebuah pohon rambutan yang sangat rimbun di seberang sungai. Si Kancil berniat ingin mengambil buah rambutan tersebut, tetapi di dalam sungai terdapat banyak buaya yang sedang mengintai Kancil.

Kemudian, para buaya berkata, “Hey, Kancil! Apakah kau sudah bosan dengan hidupmu, sehingga kau datang kemari?”.

“Eh… tidak. Aku kesini untuk menyampaikan undangan kepada kalian”, jawab Kancil.

Para buaya pun terkejut mendengar perkataan si Kancil. Buaya bertanya, “Undangan apa?”.

Lalu, Kancil menjawab pertanyaan para buaya dengan santai. “Minggu depan raja Sulaiman akan merayakan sebuah pesta dan kalian semua diundang dalam acara tersersebut”.

“Pesta…?” timpal para buaya dengan mulut menganga.

“Iya, pesta. Di sana terdapat banyak makanan. Ada daging rusa, daging kerbau, dan daging gajah pun juga ada.”

“Aaaaakh, pasti kau berbohong! Kali ini kau tidak bisa menipu kami lagi!”, buaya menyahut dengan sedikit marah.

“Eh tidak-tidak, kali ini aku serius”, jawab Kancil untuk meyakinkan para buaya.

“Apa kau yakin…?”, tanya para buaya dengan perasaan khawatir akan ditipu Kancil.

“Iya, yakin”, jawab Kancil.

“Baiklah, kali ini aku percaya kepadamu”, ujar para buaya.

“Nah, sekarang kalian berbarislah dengan rapi, aku akan menghitung berapa jumlah semua buaya yang ada di dalam sungai ini”.

Kemudian, para buaya berbaris dengan rapi. Berharap mereka semua akan mendapatkan makanan yang sama rata. Kancil pun mulai menghitung satu persatu buaya yang ada dalam sungai terebut. Setelah sampai di punggung buaya terakhir, Kancil langsung melompat ke tepian sungai.

Setelah itu, ada seekor tupai yang berkata, “Pesta itu sudah dirayakan minggu lalu, bukan minggu depan. Hahaha!”. Mendengar perkataan tupai, mereka pun merasa tertipu dan sangat marah. Melihat para buaya yang tengah marah, si Kancil malah cengengesan dan menjulurkan lidahnya ke depan. Kemudian, Kancil bergegas pergi dari tepi sungai, dan menuju pohon rambutan yang berbuah lebat itu. Akhirnya, Kancil dapat makan buah rambutan yang dia inginkan.

 

21. Contoh Cerpen berjudul Kemenyan karya Agus Noor

Barangkali kamu memang tak pernah mati.

Para peronda sering melihatmu berkelebat pulang malam-malam. Mereka kadang juga samar-samar melihatmu duduk-duduk di beranda rumahmu-sesekali batuk-batuk kecil atau berdehem-sembari menikmati rokok kretek. Tapi para peronda itu mencium aroma kemenyan merebak di udara yang seketika terasa menjadi lembab.

Para peronda juga sering melihat istrimu tengah malam berdiri di pintu menunggumu.

 

22. Contoh Cerpen tentang Liburan bersama Saudara

Saya sangat senang saat saya tahu akan pergi ke Bandung bersama saudara untuk berlibur. Sudah lama kami tidak bertemu karena tinggal di kota yang berbeda. Saya pergi dengan orang tua saya naik kereta api. Perjalanan cukup panjang. Tapi, saya tidak bosan karena saya melihat pemandangan yang indah di sepanjang jalan.

Sampai di Bandung, kami disambut dengan hangat oleh sanak saudara. Mereka menyiapkan kamar untuk kami. Kami segera mulai berbicara tentang apa yang terjadi dalam hidup kami. Saya suka mendengarkan cerita mereka yang menarik dan menarik. Esok hari tiba, kami mengunjungi Bandung bersama. Kami mengunjungi museum, taman, kebun binatang, dan mal.

Kami pun mencoba berbagai masakan khas bandung yang enak dan lezat. Kami mengambil banyak foto untuk mengabadikan momen bahagia. Menghabiskan liburan sekolah bersama adik-adik merupakan pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan. Saya merasa sangat akrab dan banyak belajar dari mereka. Saya berharap untuk berlibur dengan mereka di masa depan.

 

23. Contoh Cerpen Horor Berjudul “Pengganggu pada Saat Pengabdian”

Oleh: Ryan Topani

Awal cerita, di suatu hari Ujang sedang melaksanakan kegiatan di sebuah desa terpencil nan sepi. Dalam kegiatan itu dia tidak sendirian, dia bersama sembilan orang temannya yang lain. Disana Alex dan teman-temannya tinggal di sebuah rumah tua yang menyimpan banyak cerita menyerikan dari warga setempat dan sudah lama di tinggalkan oleh pemiliknya.

Awalnya Alex dan teman-temannya tidak ada yang tahu bahwa dirumah tersebut sempat ada orang yang meninggal. Akan tetapi mereka baru mengetahui bahwasanya disana sempat ada orang yang meninggal dari cerita warga setempat. Berdasarkan dari warga sekitar dahulunya rumah itu dihunui oleh suami & istri. Menurut cerita mereka meninggal sekitar tujuh tahun lalu sebelum kedatangan Alex dan teman-temannya ke desa itu.

Apabila dilihat dari luar rumah itu memang tampak seperti rumah biasa pada umumnya, tidak terlihat menyeramkan namun apabila dilihat dari sisi dalamnya rumah tersebut baru akan terasa hawa-hawa negatifnya.

“Rumah ini mirip dengan rumah-rumah hantu yang biasa ada di pasar malam” ucap Taya yang tidak nyaman dengan rumah itu.

“Iya betul sekali, sepertinya rumah ini memang sudah beberapa lama tidak dihuni dan dibersihkan” ucap Atun.

“Kan memang iya rumah ini sudah tujuh tahun tidak berpenghuni” jelas Rayen.

“Lihat ini! dinding bolong-bolong, genteng bocor, astaga apa iya kita akan bertahan lama tinggal disini” cetus Taya lagi.

“Sudahlah! Tidak perlu berbicara terlalu jauh lagi seperti itu syukuri saja! Toh disini tidak perlu tempat tinggal lain selain rumah ini” ucap Alex meyakinkan teman-teman.

“Hmm iya juga, yah mau bagaimana lagi hanya rumah ini yang ada untuk kita tempati saat ini” ucap teman Alex yang lain.

“Yasudah, ayo mendingan kita bersih-bersih saja supaya rumah ini menjadi sedikit lebih bersih dan nyaman untuk kita tinggali saat ini” ucap Alex mengajak untuk bersih-bersih.

“Ayo, ayo, ayo” mereka pun bersedia mengikuti ajakannya tersebut.

Setelah usai bersih-bersih, dia pun mengantri untuk mandi.

Hari pun sudah gelap tibalah giliran dia yang mandi.

Beberapa jam kemudian dimalam itu dia sedang duduk di teras rumah sembari menyeruput kopi dan menghisap rokok. Tak terasa waktu pun terus berjalan dan rokoknya pun sudah habis sedangkan kopinya masih ada setengah gelas. Dia pun berniat untuk pergi ke warung untuk membeli rokok.

Kami yang sedang berkumpul untuk membahas program tersentak dengan heningnya salah satu teman kami. Sebut saja dia Mawar. Mawar tiba-tiba tertunduk dan terdiam. Ia kemudian perlahan tersenyum dengan suara yang berat. Kemudian dia menengadahkan diri berteriak seperti macan. Kami pun kaget dan ketakutan. Sontak, kami segera memegangi tangannya sembari dia mengamuk. Matanya melotot tajam, suaranya makin ngebass seperti suara pria, dan dia terasa semakin kuat. Kami yang sedang berkumpul langsung berdzikir sebisanya.

 

24. Contoh Cerpen Sedih Berjudul “Suatu Hari Selepas Hari Itu”

Oleh: Bayu Pratama

Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Maksudku, aku memang biasa bangun pagi. Tapi hari ini lebih pagi dari biasanya. Sekitar pukul empat. Biasanya pukul enam.

Aku tidak ingat seperti apa persisnya yang aku lakukan selama dua jam: aku hanya ingat memerhatikan seekor cicak yang diam di dinding kamarku, mengerjapkan mata beberapa kali, dan tiba-tiba sudah pukul enam – seperti biasa. Aku selalu memasang alarm untuk pukul enam – biasa. Tapi entah kenapa, kebiasaan itu luput dari ingatanku pagi ini. Tiba-tiba saja alarm itu berbunyi, dan aku ingat cicak itu tiba-tiba berlari. Masuk ke retakan kecil di tembok kamarku.

Aku tidak ingat persisnya sejak kapan retakan itu ada di sana. Tapi aku kira retakan itu sudah ada sejak aku masih kecil. Walaupun aku tidak terlalu yakin, samar-samar aku mengingat retakan itu. Kenapa cicak itu masuk ke sana? Mungkin dia telah membangun keluarga cicak, atau malah kerajaan cicak di dalam retakan itu. Siapa tahu. Kepalaku masih agak pening sebenarnya. Aku berusaha mengingat apa yang telah terjadi kemarin. Tapi cicak yang masuk ke retakan itu – tidak. Bukan cicaknya. Tapi retakan itu – terus terbayang dalam ingatanku. Sambil berusaha bangun, bayangan tentang kejadian kemarin dan retakan itu terus bergantian berputar dalam ingatanku.

Kemarin – jika ingatanku tidak berusaha menyesatkanku – aku sedang berdiri di persimpangan jalan. Aku baru saja keluar dari kantor. Di kantor tidak ada hal yang luar biasa atau semacamnya – seperti biasa. Hanya saja hari itu Marta tidak masuk. Tapi seperti kataku tadi, tidak ada hal yang luar biasa – seperti biasa.

Marta adalah atasanku, jika kau belum tahu. Dia punya tiga anak, sedang suaminya sudah lama mati. Tentang suaminya, setidaknya itu yang dikatakan Marta pada siapa saja. Padahal, siapa saja sudah tahu, suami Marta melarikan diri dari dirinya. Mengejar hidup yang, katanya, lebih menyenangkan dari hidupnya bersama Marta yang gila kerja. Aku tidak pernah mengambil pusing tentang suami Marta atau Marta sendiri. Tapi tiga anaknya, Oh! Tiga anak penuh semangat itu. Kemarin, ketiga anak Marta mencari ibunya ke kantor. Sedang Marta tidak masuk.

Ketiga anak itu, Benjor, Jorben dan Berjon, selalu penuh semangat dan rasa ingin tahu. Aku suka mereka. Ketiga anak Marta bukan anak kembar walaupun nama mereka dibuat mirip-mirip. Tapi umur mereka tidak terlalu jauh. Aku ingat mereka banyak bertanya kemarin.

“Om, Mama mana?” tanya Berjon kepadaku. Dia yang bungsu dari tiga bersaudara itu. Anak bungsu, selalu menanyakan ibunya terlebih dahulu – seperti biasa.

“Eee, Mama? Mama…”

“Nama om siapa?” tanya Jorben kepadaku, untuk yang kesekian kalinya setiap kami bertemu. Aku tidak sempat menyelesaikan jawabanku untuk pertanyaan Berjon, pun menjawab pertanyaan Jorben ketika Benjor juga bertanya, “Om, ada cicak di sini?”

Benjor adalah yang sulung. Anak sulung, selalu tidak peduli pada apapun juga – seperti biasa. “Mama tidak masuk. Kalian tidak tahu mama kalian ke mana? Nama Om, untuk yang kesekian kali ya Jorben, Marko. Ingat, M-A-R-K-O. Dan, mungkin jika kalian mau mencari dengan teliti, ada cicak di tempat ini. Tidak persis di tempat ini. Tapi mungkin di gudang atau di tempat fotokopi. Kalian mau pergi mencari cicak?” Aku menjawab pertanyaan mereka sekaligus.

“Tidak…” kata mereka serempak. Setelah itu, mereka berlarian dan aku tidak melihat mereka lagi. Kemudian hari berjalan seperti biasa dengan tumpukan pekerjaan – seperti biasa. Kemarin pekerjaanku memang tidak terlalu banyak. Tapi toh tidak selesai juga tepat waktu. Aku lembur – walaupun tidak persis juga kalau disebut lembur – karena malas membawa pekerjaan pulang. Harusnya aku pulang sekitar pukul empat sore. Tapi kemarin aku bekerja sampai pukul lima tiga puluh. Pekerjaan selesai, aku bersiap-siap pulang. Dan di sanalah aku: aku ingat aku berdiri di persimpangan jalan itu.

Di seberang jalan aku melihat Marta. Dia terlihat gelisah. Maksudku, dia terus melihat jam tangannya. Aku tidak memanggilnya atau apa. Aku hanya berdiri di sana dan terus mengamat-amatinya. Entah berapa lama kami dalam keadaan itu. Maksudku, Marta sibuk melihat jam dan aku sibuk mengamat-amatinya. Tapi ketika akhirnya Marta menyeberang jalan, lampu jalan di atasku baru saja dinyalakan. Lampunya mengalami korslet. Biarpet dan mengeluarkan suara aneh. Aku kira lampu itu bisa meledak sewaktu-waktu. Aku menoleh ke atas, mengamat-amati lampu itu. Membayangkannya meledak tiba-tiba dan pecahannya menusuk-nusuk wajahku, aku menunduk seketika. Dan di sanalah Marta: lebih dari setengah jalan mendekatiku.

Ketika kami berpapasan, aku hanya diam dan Marta berjalan begitu saja melewatiku sambil melihat jam tangannya. Sampai beberapa lama aku tidak punya dorongan untuk mengatakan apa-apa – aku biasa begitu. Terus begitu, sampai di seberang jalan di mana Marta tadi berdiri, telah berdiri seorang wanita bersama seorang anak kecil. Aku kira mereka ibu dan anak. Mereka tertawa-tawa dan terlihat bahagia. Melihat itu, aku memutar dan menegur Marta.

“Hei, tadi Benjor, Jorben dan Berjon kemari. Mencarimu.”

Marta berhenti melangkah sebentar. Membalik hadapnya kemudian bertanya, “pukul berapa?”

“Emmm, dua atau satu. Aku tidak yakin. Mungkin setengah dua.”

Tanpa menyahutku lagi, Marta masuk ke dalam kantor dan aku tidak melihatnya lagi. Aku hanya diam mematung, memerhatikannya sampai sempurna hilang dari penglihatanku.

Sepanjang perjalanan pulang aku terus memikirkan ini. Maksudku, aku tidak ingat persisnya apa yang aku pikirkan. Tapi aku kira itu soal Marta dan anak-anaknya, juga ibu dan anak yang akan menyeberang ketika aku bertemu Marta itu. Dulu, aku pernah melihat kecelakaan. Satu keluarga dalam mobil menabrak pohon. Ketika satu per satu anggota keluarga itu dikeluarkan dari mobil, salah satu dari mereka adalah seorang anak wanita yang usianya kira-kira sama denganku waktu itu. Wajah anak itu bersimbah darah. Sepertinya kepalanya robek kena hantam sesuatu. Atau kaca, karena samar-samar aku ingat ada kaca menancap di wajahnya. Walaupun begitu, aku tidak yakin juga. Belakangan baru aku tahu dari sebuah kliping berita, yang aku baca beberapa hari lalu, bagaimana mobil itu sampai bisa menabrak pohon. Entahlah. Ingatan itu muncul begitu saja bersamaan dengan pikiranku soal Marta dan anak-anaknya, juga ibu itu dan anaknya. Kecelakaan itu sudah lama sekali rasanya. Waktu itu aku masih sangat kecil.

Di hari yang sama aku melihat kecelakaan itu, aku terlibat sebuah perkelahian di sekolah. Aku sempat melayangkan tinju satu kali ke anak yang menggangguku itu. Walaupun tinjuku tidak kena telak dan, mungkin, tidak pula memberikan rasa sakit apa-apa, itu tetaplah sebuah tinju. Aku tidak ingat persisnya apa hal sampai kami berkelahi, pun nama anak itu. Tapi begitulah, aku biasa berkelahi, dan hal-hal semacam itu sudah lama sekali rasanya.

Selain kejadian setelah perkelahian itu, bisa dibilang aku tidak ingat apa-apa. Kejadian yang aku maksud adalah ketika hidungku kena tinju dan mengeluarkan darah. Darah itu menetes-netes di pakaian seragamku dan meninggalkan noda yang begitu mencoloknya. Aku tidak merasa sakit ketika lawanku itu meninjuku, pun merasa malu ketika darah menetes begitu saja dari hidungku. Tidak. Tidak ada hal lain yang mengisi kepalaku saat itu selain bagaimana nanti menjelaskan noda di pakaian seragamku itu kepada ibu. Maksudku, aku memang selalu bisa membayangkan wajah ibu menanyakan sesuatu, bahkan sampai sekarang.

Ibu sering memarahiku. Terutama jika aku tidak menurut. Tapi aku kira semua ibu melakukan itu pada anak manapun yang tidak menurutinya. Selepas perkelahian itu, setelah lumayan lama berpikir, aku pulang. Tentu saja semua persis seperti dugaanku. Ibu bertanya tentang dari mana noda darah itu. Untung saja ada kecelakaan itu. Maka aku katakan pada ibu, “tadi ada mobil kecelakaan. Isinya satu keluarga.”

“Terus?”

“Salah satunya ada anak wanita, seumuranku.”

“Kau bantu anak itu?”

“Iya. Banyak orang yang membantu.”

“Darah itu darahnya? Wah, kasihan.”

“Iya, kasihan.”

Ibu sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Gagal ginjal dan campuran segala macam penyakit lain yang aku tidak tahu persisnya apa. Ibu. Suatu hari, ibu pernah marah karena tanpa sengaja memegang tahi cicak saat sedang santai-santai di teras rumah. Tidak perlulah aku jelaskan lagi betapa mengganggunya hal itu. Sontak ibu mengambil sapu dan berusaha memusnahkan cicak manapun yang dilihatnya. Cicak-cicak itu tentu saja berlari ke sana ke mari. Hari itu, tepat sehari setelah kecelakaan yang kusebut tadi.

Ketika ibu sibuk memusnahkan cicak-cicak, pikiranku dipenuhi dengan bayangan tentang anak wanita seumuranku yang ada di dalam mobil itu. Wajahnya yang bersimbah darah. Entah kenapa aku memikirkan itu. Waktu itu rasanya seperti aku tidak akan pernah tidur nyenyak lagi jika terus memikirkannya. Bagaimana mungkin ada darah sebanyak itu dari wajah seseorang? Itu yang aku pikirkan waktu itu. Tapi, tentu saja malam itu aku tidur nyenyak – seperti biasa. Mungkin aku terlalu kecil untuk dihantui hal semacam itu. Belakangan baru aku tahu, dari kliping berita itu juga, siapa nama anak itu sebenarnya.

 

25. Contoh Cerpen Seram Berjudul “Kendaraan Berhantu”

Oleh: Melyanda Ulan Dari

Ini bukan kisah mendebarkan, hanya sebuah kisah seorang gadis yang menaiki bus berpenumpang makhluk tak kasat mata atau… Hantu?

Namanya mey, penjual bunga kecil-kecilan dipinggir jalan. Suatu malam ia hendak pergi pulang ke kampungnya dengan menaiki sebuah bus.

“Ibu, aku akan segera sampai disana” Ucap mey riang di telepon.

“Aku menunggumu” Jawab sang ibu.

Sebenarnya muncul secuil rasa curiga ketika gadis itu melihat bus yang sangat sepi, apa lagi halte yang terlihat sunyi seperti ini.

Tetapi mey bukan lah seorang yang penakut, dan juga bisa dibilang dirinya adalah pencinta hal yang menakutkan.

Ketika mey masuk kedalam bus, suasana bus masih biasa saja namun sedikit suram. mey berfikir mungkin karena hari sudah hampir tengah malam.

Duduk di salah satu bangku penumpang, mey mulai membuka handphone nya.

“Kau bermain apa?” Tanya seorang lelaki yang duduk disampingnya.

mey menoleh, “Oh ini.. Hanya sedang menulis cerita. Entah kenapa aku mempunyai ide untuk menulis cerita bus berhantu, haha”

Lelaki itu terdiam, tak menjawab.

Semua masih terasa normal, mey masih fokus dengan ceritanya. Namun tiba-tiba saat mereka melewati gerbang tol, gadis itu baru menyadari jika tak ada lagi suara bisik.

Merasa ada yang tak beres, mey mulai mendongak.

Deg!

Semua berubah, kini dinding bus yang semulanya putih bersih menjadi rusak dan penuh darah. Para penumpang yang sebelumnya biasa kini bermuka rusak bahkan hancur, dan menatap mey.

Jantung gadis itu berpacu cepat, apa-apaan ini!

Menoleh, mey menoleh hendak mencari tahu bagaimana keadaan lelaki yang duduk disampingnya, bagaimana pun juga mey sudah menganggap lelaki itu teman barunya.

Terkegun, kini di sampingnya terlihat seorang lelaki yang tidak memiliki mata, rambutnya terlihat kaku karena darah. Pipinya bolong sebelah entah karena apa, dan… Cukup! Ini sangat seram!

Tubuh mey sedikit bergetar, pertama kali melihat hal yang menyeramkan. Pikirannya benar-benar kosong, apa yang harus ia lakukan?

Berdoa! Ya, benar. Ia harus berdoa!

mey mulai melafalkan semua doa maupun surat yang terlintas di benaknya, ia benar-benar takut.

Walau di awal cerita sudah terpangpang jelas bahwa mey pencinta hal menakutkan, namun jelas ini adalah hal yang sangat sangat sangatttttt lebih menyeramkan.

Mey menutup matanya dengan tubuh bergetar hebat, ia sudah tak mau lagi melihat lelaki serem disampingnya.

“Neng” Tepukan pelan membuat gadis itu tersentak.

“Aaaakhh!” mey berteriak histeris, lelaki seram itu pasti mengganggunya!

“N-neng, sadar! ngapain di pinggir kuburan malem-malem gini..” Ucap lelaki itu.

Mey tertegun, lalu memberanikan diri membuka matanya. “Loh pak, ini dimana?” Tanyanya dengan suara gemetaran.

Menjawab, “Ini di pemakaman neng. Kenapa sampean bisa disini? Udah tengah malam lho.”

Terkajut, “Tadi saya lagi naik bus pak!”

Lelaki itu terdiam mendengar balasan mey, lalu menggeleng. “Pasti sampean lagi diganggu sama makhluk sini, maklum neng.. Dulu ada kecelakaan bis disini, untung sampean bisa balik.” Bapak itu menghela nafas lega.

“Saya mau ke kampung ibu saya, Pak” mey memberitahu rencananya.

“Lah emang kampung apa?” Tanya sang bapak lagi sambil menaikkan alisnya penasaran.

“Kampung melati”

Terkajut, “Bukannya kampung itu udah kena tanah longsor tahun kemarin neng? Seluruh warganya ndak ada yang selamat.”

Tunggu, apa! Hei ini keliru! Dia setahun ini selalu bertelepon dengan ibunya.

“Beneran pak”

“Iya neng, cari aja di berita”

Ibunya telah tiada?

Selama ini yang dia telepon… Siapa?

Seru kan belajar nulis dan membaca contoh cerpen barengnya, hehehe. Lebih seru lagi kalau kamu bisa belajar bareng sama STAR Master Teacher di Brain Academy. Nggak cuma dalam pelajaran Bahasa Indonesia, tapi di pelajaran lain juga, bahkan sampai persiapan ujian. Ada kelas gratisnya, lho!

[IDN] CTA Blog Brain Academy

Fauzia Astuti